Penulis
; Mas’ud, SH
Tegas.CO,
KENDARI – Musyawarah Daerah (Musda) Kongres Advokat Indonesia (KAI) Sulawesi
Tenggara (Sultra) yang dihadiri sekitar 20 advokat / pengacara disalah satu
hotel di Kendari Minggu (17/5) memilih secara aklamasi Andri Dermawan, SH
pimpin Dewan Pimpinan Daerah (DPD) KAI Sultra periode 2015 – 2020.
Musda
bertema, Konsolidasi Organisasi untuk Penguatan Kelembagaan KAI Sultra,
diharapkan pimpinan baru dapat mensolidkan anggotanya, agar ke depannya
dinamika yang melanda organisasi sebelumnya tak terulang lagi.
Pelaksanaan
Musda KAI Sultra diselenggarakan atas mandat DPP KAI pusat yang mengistruksikan
agar seluruh daerah di Indonesia segera membentuk DPD,” Ada mandat dari DPP KAI
agar membentuk DPD KAI Sultra, selanjutnya, seluruh keanggotaan KAI yang ada
akan diverifikasi untuk diperbaharui,” kata Ketua KAI Sultra Andri Dermawan.
Andri
yang aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Himpunan Muda Advokat Indonesia
(HAMI) Sultra dipilih secara aklamasi karena dinilai mampu menjalankan
organisasi secara professional sebab memiliki pengalaman diberbagai organisasi.
Selain
pengalaman berorganisasi Andri Dermawan dinilai
memilik segudang pengalaman beracara berbagai perkara dan advokasi terhadap
masyarakat yang terintimidasi.
Pemegang
mandat, Adly Yusuf Saepi, SH.MH dan Ahmad Daud, SH yang memimpin sidang
menganggap penunjukan secara aklamasi terhadap Andri Dermawan selaku ketua DPD
KAI Sultra telah sah dan korum,”Kami kembalikan ke forum, tujuannya memastikan
agar advokat / pengacara yang hadir tetap pilihannya kepada Andri,”ungkapnya.
Sebelumnya
berita MK, Pemerintah:
Permasalahan Sumpah Advokat Tidak Tepat Diajukan ke MK
Sidang
lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU
Advokat) dengan agenda mendengar keterangan Presiden dan Mahkamah Agung (MA)
digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (6/5) siang, di Ruang Sidang Pleno
MK. Perkara yang terdaftar dengan nomor 36/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh para
advokat, Abraham Amos, dkk, yang menguji ketentuan sumpah advokat sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU a
quo. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10845
Mewakili
Presiden, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan
HAM, Wicipto Setiadi mengatakan sudah terdapat pengaturan yang tegas bahwa
terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dalam undang-undang yang
telah dimohonkan ke MK tidak dapat dimohonkan kembali. Pengajuan dapat
dilakukan lagi ketika ada alasan lain atau berbeda dengan permohonan
sebelumnya. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU a
quo pernah diputus oleh MK
melalui putusan nomor 101/PUU-VII/2009 pada 30 Desember 2009. Untuk itu,
Wicipto menyatakan terjadinya hambatan yang dialami Pemohon untuk bekerja dalam
profesi advokat bukan karena norma yang terkandung dalam Pasal a quo, melainkan sebuah
permasalahan penerapan norma.
“Bahwa terjadinya hambatan yang dialami oleh para Pemohon
untuk bekerja dalam profesi advokat pada dasarnya bukan karena adanya norma
hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat, melainkan
disebabkan oleh penerapan norma dimaksud sebagai akibat adanya surat Mahkamah
Agung yang melarang pengadilan tinggi mengambil sumpah para calon advokat
sebelum organisasi advokat bersatu,” urai Wicipto dalam sidang pleno yang
dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Kemudian, Wicipto juga menyatakan bahwa pengambilan sumpah
oleh pengadilan tinggi merupakan perintah undang-undang, sehingga harus
dilaksanakan. “Penyelenggaraan sidang terbuka pengadilan tinggi untuk mengambil
sumpah bagi para advokat sebelum menjalankan profesinya sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat merupakan kewajiban
atributif yang diperintahkan oleh undang-undang, sehingga tidak ada alasan
untuk tidak menyelenggarakannya,” kata Wicipto.
Untuk itu, Wicipto mengatakan bahwa ketentuan Pasal 4 ayat
(1) UU a quo adalah konstitusional sepanjang frasa
“di sidang terbuka pengadilan tinggi wilayah domisili hukumnya” dimaknai
sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh undang-undang kepada pengadilan
tinggi. Wicipto juga mengatakan bahwa ketentuan tersebut tidak boleh dikaitkan
dengan adanya dua organisasi advokat yang ada, yakni Perhimpunan Advokat
Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI).
Ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU a quo menyatakan bahwa organisasi advokat
merupakan satu-satunya wadah profesi advokat. Terhadap hal ini, berdasar pada
putusan MK sebelumnya, Wicipto mengatakan bahwa kewajiban pengadilan
tinggi untuk mengambil sumpah para calon advokat tanpa memperhatikan organisasi
advokat hanya bersifat sementara. Jangka waktunya adalah 2 tahun sampai
terbentuknya organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi
advokat. Organisasi tunggal ini dibentuk melalui kongres para advokat yang
diselenggarakan bersama oleh organisasi advokat yang ada. Jika memang setelah
jangka waktu 2 tahun organisasi advokat tunggal tersebut belum terbentuk, maka
perselisihan tentang organisasi advokat yang sah diselesaikan melalui peradilan
umum.
Menimbang hal-hal tersebut, Wicipto mengatakan bahwa
permohonan Pemohon merupakan masalah penerapan norma dan lebih tepat jika
diajukan ke peradilan umum, bukan ke MK. “Dengan demikian terhadap dalil para
Pemohon atas ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Advokat,
menurut Pemerintah sudah jelas dan tepat apabila isu dan penerapan norma ini
diajukan ke peradilan umum, bukan pada Mahkamah Konstitusi,” tandas Wicipto.
MA Tak Berkepentingan
Sementara itu, MA yang hadir sebagai pihak terkait diwakili
Ketua Muda Pembinaan MA, Takdir Rahmadi menyatakan bahwa MA menyerahkan
permasalahan konstitusionalitas ketentuan yang diuji kepada MK. Lebih lanjut,
Rahmadi menyampaikan bahwa MA memperkenankan jika memang pengambilan sumpah
advokat tidak dilakukan di hadapan sidang pengadilan tinggi. MA juga tidak
mempermasalahkan jika sumpah advokat diserahkan pada internal organisasi
advokat sendiri.
“Mahkamah Agung ke depan justru menginginkan, tidak masalah
jika misalnya pengambilan sumpah itu tidak harus dilakukan di hadapan sidang
pengadilan tinggi. Jadi, kita bersifat imparsial, diserahkan kepada para
profesi itu sendiri. Itulah inti dari sikap Mahkamah Agung. Bahwa Mahkamah
Agung tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui kedua organisasi yang
bertikai itu. Jadi, intinya diserahkan kepada organisasi profesi advokat itu
sendiri,” urai Rahmadi.
Mempertegas keterangan, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna
menanyakan apakah MA secara tidak langsung telah menarik surat edaran MA yang
intinya tidak akan mengambil sumpah sebelum organisasi advokat bersatu.
Menjawab pertanyaan itu, Rahmadi menyatakan bahwa MA sebenarnya tidak menarik
surat edaran tersebut. Namun, lanjut Rahmadi, ketika surat edaran tersebut
dikeluarkan, masih belum terdapat pengujian ketentuan sumpah advokat di MK.
Untuk itu, setelah ada pengujian norma, maka MA menyerahkan isu
konstitusionalitas norma tersebut kepada MK.
“Kita tidak ada interest,
tidak ada kepentingan untuk mempertahankan, harus mono-bar atau single-bar,
atau multi-bar dan kaitannya juga dengan penyumpahan
harus di hadapan sidang terbuka pengadilan tinggi. Tidak ada kepentingan untuk
mempertahankan itu. Jadi serahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Mahkamah
Konstitusi ke depan,” tandas Rahmadi.
Pada sidang sebelumnya, salah satu Pemohon Johni Bakar
menyatakan bahwa meskipun sudah terdapat putusan MK, namun ketika
organisasinya, yakni Kongres Advokat Indonesia (KAI) memohon penyumpahan,
Pengadilan Tinggi tetap menolaknya. “Kalau persoalan masalah sumpah, kami
sampaikan dengan bahasa awamnya kami, kami sudah mohonkan, organisasi ini sudah
mohonkan sumpah, tetapi pengadilan tinggi yang tidak mau. Dimana salahnya kami,
organisasi kami sudah mohonkan secara patut, tetapi tetap tidak dikasih,
ujung-ujungnya ini dijadikan senjata untuk menjegal kami beracara, di mana
keadilan,” papar Johni. (Triya IR/Yusti NA)
Posting Komentar